
SAJAK.ID – Musim kemarau berkepanjangan yang melanda wilayah Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), menjadi momok menakutkan bagi para petani di Desa Segihan.
Ketergantungan yang tinggi pada pola tanam tadah hujan menyebabkan produksi padi di desa dengan potensi lahan pertanian seluas 100 hektare ini terancam penurunan drastis, bahkan meningkatkan risiko gagal panen secara signifikan.
Kondisi ini tidak hanya mengancam pendapatan petani, tetapi juga berpotensi mengganggu ketahanan pangan di tingkat desa dan regional.
Sekretaris Desa Segihan, Setiono Anitabhakti, mengungkapkan kekhawatiran mendalam atas dampak kemarau yang berkepanjangan ini.
“Dalam kondisi cuaca normal dengan curah hujan yang cukup, petani di Segihan mampu melakukan panen padi hingga dua kali dalam setahun. Namun, dengan kondisi kemarau seperti saat ini, kami memperkirakan akan terjadi penurunan produksi yang sangat signifikan,” ujarnya.
Rata-rata hasil panen padi di Desa Segihan saat kondisi normal mencapai sekitar tiga ton per hektare. Namun, tanpa adanya pasokan air yang memadai akibat kemarau, hasil panen diperkirakan akan jauh di bawah angka tersebut, bahkan berpotensi nol di beberapa area.
Keterbatasan infrastruktur irigasi menjadi faktor utama yang memperparah dampak kemarau. Sawah-sawah di Desa Segihan sangat bergantung pada air hujan, sehingga ketika musim kemarau tiba, tidak ada sumber air alternatif yang dapat diandalkan untuk mengairi lahan pertanian.
Pemerintah Desa Segihan menyadari betul urgensi permasalahan ini dan tengah berupaya mendorong pembangunan infrastruktur pertanian, khususnya sistem irigasi yang lebih baik dan berkelanjutan.
“Kami sangat berharap adanya perhatian dan dukungan yang lebih besar dari pemerintah daerah untuk membantu petani kami memiliki akses air yang stabil, sehingga mereka tidak lagi sepenuhnya bergantung pada curah hujan,” tegas Setiono. (Adv)